Tak Mencemari, Tak Membahayakan – Prolog

无污染, 无公害 – No Pollution, No Public Harm karya Priest

Diterjemahkan ulang dari Chai Translations

Dukung penulis dengan membeli bab VIP di JJWXC!
Laman asli novel
Panduan JJWXC

Catatan: Ini adalah terjemahan bebas yang dibuat berdasarkan terjemahan penggemar bahasa Inggris tanpa merujuk teks asli yang berbahasa Mandarin. Terjemahan ini dibuat murni untuk bersenang-senang. Jika ada pilihan kata atau istilah yang kurang tepat, kemungkinan dilakukan murni for the lulz.

Sinopsis

“Ketika aku masih muda, setiap kali menulis esai, seringkali kalimat terakhirku adalah, ‘Saya bertekad untuk menjadi insan yang berguna bagi masyarakat.’ Rata-rata, aku membuat tekad ini dua puluh sampai tiga puluh kali per semester. Saat itu, aku sungguh tak punya otak.”

“Ketika aku tumbuh dewasa, barulah aku sadar bahwa menjadi orang yang tidak merugikan masyarakat saja sudah merupakan pencapaian terbesar yang bisa kuraih dalam hidup.”

Akibat kerja sampai malam dan keseringan lembur sampai livernya nyaris jebol, suasana hati ketua Persekutuan Pendekar memburuk. Dia menolak mengadakan Pasamuan Umum Pendekar yang seharusnya diadakan tiap tahun.

Keturunan Ketua Gerombolan Pengemis kecanduan main ponsel dan belanja daring; Walet Tang Qian yang tak meninggalkan jejak kaki di atas salju menghasilkan pengurung diri dengan sindrom kecemasan berat…

Ibarat air sungai yang mengalir menjauh, keondisi dunia memburuk dari hari ke hari. Hanya pengikut aliran sesat yang masih memperjuangkan cita-cita mereka. Seperti biasa, mereka menyerukan semboyan-semboyan mereka setiap hari dan bekerja keras menjual suplemen kesehatan dari pasar gelap, dengan hati-hati dan serius merongrong ruang publik.

Dan di antara orang-orang dunia persilatan yang disebutkan di atas, baik yang bajik maupun yang jahat, tak satu pun yang bisa bertarung.

Kebaikan dibayar dengan kebaikan, kejahatan diganjar dengan kejahatan? Kuda Putih Meringkikik di Angin Barat? Yang seperti itu sudah tiada. Semua orang masih harus melunasi tagihan kartu kredit dan cicilan rumah.

Ada empat cara menulis kata “lawang” dalam “biji bunga lawang” dan lima tahap “berduka”.

Prolog

Bocah lelaki itu belum makan atau minum apapun hampir seharian. Dia menelan air ludah, tenggorokannya seperti logam berkarat, terasa apek. Ada titik-titik hitam di penglihatannya. Dia menginjak sesuatu entah apa; pergelangan kakinya goyah dan tanpa satu kata pun, dia jatuh ke depan, kepala duluan.

Gadis di sampingnya mencengkram kerahnya tanpa lembut-lembutnya. Dia menyeretnya seperti menyeret mayang anjing, dia sampai nyaris tercekik. Si bocah dengan susah-payah menopang tubuhnya di atas tanah, dia nyaris tidak bisa berdiri tegak. Setidaknya dia tidak terkapar di tanah. Kebisingan di telinganya tiba-tiba terasa jauh, lalu tiba-tiba terasa dekat, seolah-olah ada semacam lapisan yang menghalanginya.

“Lu kenapa sih?”

“Aku… Aku sungguh…”

Sungguh tidak sanggup lari lagi…

Belum selesai dia bicara, bocah itu kehabisan tenaga. Separuh kalimatnya tersangkut ditenggorokan, buya menjadi serpihan oleh tarikan napasnya yang patah-patah.

“Apa lu bilang?” gadis itu tidak mendengarnya dengan jelas. Dia mendekat dan mengangkat dagu bocah itu ke atas. Ia memandangi wajah si bocah dan mengernyitkan dahi sambil bertanya, “Lu digebukin?”

“Ti… Tidak,”  bocah itu dengan lemah berusaha menggapai tangan si gadis yang mengecek tubuhnya sembarangan. Napasnya setipis benang ketika dia bicara, “…G-gula darah rendah… Cici…”

“Oh.” Gadis itu tersentak sesaat ketika mendengar bocah itu memanggilnya seperti itu, tapi dia tidak protes. Gadis remaja tidak terlalu sensitif soal umur. Dia menepuk-nepuk pakaiannya dan akhirnya menemukan sepotong cokelat entah dari mana. “Nih. Kayaknya udah expired sih, tapi gue cuma punya itu. Yang ada aja lah, ya.”

Potongan cokelat ini telah makan banyak asam garam dan tak ada yang tahu sudah berapa kali ia lumer dan membeku lagi. Bentuknya sudah berubah drastis. Bocah lelaki itu mengambilnya, gemetar, merasa seolah sedang membuka kain kafan mayat yang lengekt. Tapi dia tidak punya pilihan selain memaksakan diri untuk memasukkan cokelat itu ke dalam mulut. Di dalam, dia merasakan aroma bubuk deterjen binatu yang sangat tajam.

Saat kelaparan sampai gula darah rendah, siapapun pasti jadi gampang pusing dan mual. Ditambah lagi, tenggorokannya meradang dan dia kesulitan menelan. Potongan cokelat yang telah melalui entah apa ini tersangkut di tenggorokannya, tidak bisa naik maupun turun, membuat si bocah tersedak dan muntah beberapa kali dengan wajah basah oleh air mata.

“Bukannya lu udah gue kasih makan? Kok nangis?”

“Aku… ugh… Aku bukannya menangis, aku cuma… tidak bisa… ugh… tidak bisa menelan…”

“Tuan putri,” si gadis menghela napas seperti seorang tua berpengalaman. Dia berjongkok si samping si bocah dan sabar menungguinya menghapus air mata, lalu bertanya, “Oi, gua mau nanya–lu tahu gak kenapa orang-orang itu nyulik lu?”

“Tidak… Mm, aku tidak tahu,” bocah lelaki itu mengerahkan seluruh tenaga untuk menelan benda tadi. Dia menarik napas dalam-dalam beberapa kal, “Aku tidak kenal mereka, tapi mereka punya mobil dan bahkan punya beberapa ekor anjing. Kurasa mereka akan langsung menyusul kita–Cici, punya alat komunikasi? Mereka mengambil ponselku.”

“Gak punya. Di kampung teriak aja cukup,” gadis itu merentangkan tangannya, “Jangan bilang lu anak orang kaya. Abis nyulik lu mereka minta duit gak?”

“Tidak, orangtuaku orang biasa.” Si bocah berpikir sejenak, lalu menambahkan, “Harusnya bukan karena uang. Mereka tidak memotretku dan tidak menyuruhku menelepon keluargaku untuk minta tebusan. Yang menculikku tadi satu geng, total tujuh atau delapan orang. Kurasa sebagian besar geng yang terlibat penculikan dan pemerasan tidak ada yang sebesar itu karena semakin banyak orang, semakin banyak mulut yang rawan bocor, jadi akan sangat mudah timbul konflik karena kepentingan pribadi. Akan sangat sulit bagi geng itu untuk tetap stabil.”

Kata-katanya sangat logis dan dia bahkan memakai beberapa istilah formal. Si gadis sampai pusing mendengarnya, “Oh, gitu?”

Bocah lelaki itu tiba-tiba jadi waspada tanpa alasan, “…Aku baca di buku.”

Dua bocah tanggung itu berada di tempat yang sangat sepi. Tak jauh dari situ ada jalan layang antarprovinsi. Saat itu, tak ada satu mobil pun yang melintas. Tak ada tanda-tanda manusia satu pun di sekitar mereka, tapi mungkin ada tempat pembuangan akhir di dekat mereka karena angin larut malam peralihan musim gugur ke musim dingin membawa bau busuk luar biasa. Bau itu membuat si bocah lelaki tersedak sampai-sampai hidung dan mulutnya perih. Tubuhnya merespon dengan nyaris muntah beberapa kali. Dia cepat-cepat menutup mulut untuk menahannya sambil melirik ke arah si gadis dengan hati-hati, seolah-olah takut dia jadi jijik padanya.

Gadis itu memakai kemeja laki-laki yang sangat butut. Itu gaya yang sempat populer di antara pengurus desa tahun 90-an. Namun, ukuran kemeja itu sama sekali tidak pas untuknya. Kemeja itu membungkus tubuh si gadis seperti karung, tapi itu malah membuatnya tidak terlalu terlihat norak. Tas sekolah berbahan denim menggantung di satu tangannya. Ritsleting tas itu sudah rusak dan digantikan kancing-kancing yang dijahit berantakan. Tali tas yang lembut bergelantungan ke bawah. Tas itu terlihat seolah baru saja dipungut dari tong sampah.

Walau begitu, gadis itu tidak terlihat jorok; sebaliknya, gadis itu seolah-olah terlihat cuek.

“Cici tinggal di dekat sini?” bocah lelaki itu bertanya pelan, “Di mana kita bisa menemukan orang dewasa?”

“Mana gua tahu? Gua tadi nemplokin mobil mereka,” gadis itu mencabut sebilah rumput dari tanah dan mengigiti salah satu ujungnya. Sambil mengamati sekeliling, dia terlihat sedang merencanakan sesuatu. Dia pun bicara asal, “Lu diculik di Gang Lumpur, kan? Gua pas lewat situ pas mau beli sarapan, tapi geng itu kelewat gercep. Gua bahkan belum liat mereka nyulik orang. Rasanya ada yang gak bener aja, jadi gua buntutin. Anggaplah lu lagi hoki.”

Anak lelaki itu terpelongo.

Gadis itu lanjut bicara, “Gua belum nanya. Anak baik-baik kayak lu ngapain ke Gang Comberan pagi-pagi? Itu kan sarang preman.”

“Kau tidak lapor ke orang dewasa? Tidak lapor polisi?” si bocah yang baru tersadar langsung mengamuk, “Kau bahkan, kau… nemplok di mobil mereka? K-kau, kau menempel di mana? Kalau kau jatuh, kau bisa mati terlindas di jalan raya! Lalu, kalau mereka sampai memergokimu…”

Alur pemikiran gadis itu terpotong oleh ocehan beruntun si bocah. Dia menoleh dan memandangi bocah lelaki itu dengan wajah pasrah, “Lapor polisi? Lapor gimana? Kalau gua lari dari Gang Comberan ke kantor polisi, jelasin perkara ke mereka, terus lari balik ke gang–gua bahkan gak tahu mau jelasin gimana–Waktu bolak-baliknya cukup buat lu diseret ke tempat kremasi sampe reinkarnasi. Mending lu baik-baik ke pojok, hafalin tuh ‘Panduan Anak SD’. Kalau lu ngoceh muter-muter terus, cici gampar lu sampe mewek.”

“Aku bicara pakai nalar. Lagipula, aku sudah SMP!”

Si gadis tertawa, “Kalo gitu pinter ya lu di sekolah. Gua–”

Sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, ekspresinya tiba-tiba berubah. Dia menarik bocah itu dan mendorongnya ke dalam semak-semak di pinggir jalan. Si bocah tanpa sadar menahan napas. Segera setelah itu, kilatan cahaya samar-samar melintas.

Cahaya lampu mobil.

Ada beberapa mobil yang datang. Di kesunyian malam, bunyi mesin dan knalpot terdengar amat kencang. Mobil-mobil itu berbelok seperti jet pengebom, lalu berhenti di satu titik tak jauh dari mereka. Setelah itu, angin membawa suara orang-orang mengumpat dan anjing-anjing menggonggong.

Mereka membawa anjing untuk mengejar!

Si bocah buru-buru memalingkan kepala untuk melihat teman senasibnya di sampingnya. Dengan bantuan cahaya remang, dia baru sadar gadis itu mungkin tak jauh lebih tua darinya. Mereka bahkan mungkin sepantaran. Pipi dan rahangnya masih terlihat tembam kekanak-kanakan. Hanya saja, anak perempuan memang tumbuh lebih cepat dan gadis itu juga sangat tegas, jadi kesannya dia sudah dewasa.

Tampang gadis itu dari samping tidak secantik tampak depan karena ada tonjolan kecil di batang hidungnya. Alisnya tebal dan panjang mengarah ke atas. Waktu dan usia belum terukir di wajahnya, tulang dan dagingnya belum tumbuh sempurna; tapi sifatnya yang angkuh dan keras kepala sudah terlihat jelas.

“Mereka menang jumlah. Mereka punya mobil, bahkan anjing. Menangkap kita berdua… Tidak, mereka akan menangkapku dengan muda,” bocah lelaki itu bicara dengan nada rendah dan mendesak, “Kita harus berpencar. Kalau aku tertangkap, kau jangan keluar. Dengarkan aku, seharusnya di dekat sini ada TPA. Seharusnya ada telepon umum di dekat TPA besar. Hubungi seseorang untuk menyelamatkanku.”

“Gua gak punya kartu telepon.”

Urat nadi di pelipis bocah itu mulai berdenyut, “Telepon 110 gratis! Kau tidak punya akal sehat?”

“Oh, gitu?” ekspresi aku-baru-belajar-hal-baru muncul di wajah gadis itu. Lalu, dia dengan tenang memalingkan muka dan meludahkan rumput dimulutnya, “Oke, kalau sempat gua coba. Hari ini sih gak perlu. Buka baju.”

“…Apa?”

“Buka. Baju.” Gadis itu memutar kepalanya, pandangannya melayang sepintas melewati dada kerempeng si bocah lelaki, “Lu tuh cuma toge, gak punya toket gak punya pantat. Lu kira gue mau sama elu? Cepetan, jangan ngelek!”

Dia bergerak untuk bertindak sendiri sambil bicara. SI bocah lelaki melipat tubuhnya menjadi bola, wajah dan telinganya merah padam. Akhirnya dia terpaksa menurut. Dia tidak memakai banyak lapis; setelah melepaskan topi bisbol, kaus, dan celana olahraga, yang tersisa di tubuhnya hanyalah selembar celana dalam. Dia telrihat seperti anak anjing gundul, marah dan merasa dilecehkan.

Gadis itu melirik ke arahnya dan tertawa jahat, “Guguk di CD lu mirip banget sama elu.”

“Kau lihat apa?!”

“Ikutin gua!” dia memanggil si bocah dan membungkukkan pinggang. Di balik semak-semak yang tumbuh liar di pinggir jalan, gadis itu menuntun si bocah untuk mengendap-endap dengan lincah.

Awalnya bocah lelaki itu masih punya bayangan kasar ke mana arah mereka. Belakangan, dia begitu sering memutar sampai kebingungan dan yang dia tahu hanyalah menutup mulut dan mengikuti si gadis. Gonggongan anjing terdengar semakin dekat, bunyi langkah kaki yang sumbang pun terdengar di jalanan kosong.

“Sini!” gadis di depannya memanggil. Bocah itu baru sadar bahwa mereka berdua telah sampai di batas TPA. Tepat di depan mereka ada pagar kawat. Sebelum gadis itu selesai bicara, seberkas cahaya kembali melintas. Dua bocah tanggung itu buru-buru tiarap. Mereka sangat dekat dengan satu sama lain. Si gadis melihat sepatu kets di kaki si bocah lelaki–sangat mencolok, warna tali dan bentuk ikatan sepatu yang satu beda dengan yang satunya, warnanya menyala dalam gelap. “Lepas sepatu lu juga. Tunggu sebentar, terus lu manjat ke sisi sana dari sini. Cepetan, kalau sampe kepergok, tewas lu. Ngerti?”

“Apa yang kau rencanakan?”

Gadis itu mengabaikannya dan lanjut bicara, “Habis lu ke sisi sana, cari tempat yang paling busuk terus sembunyi di situ. Deket-deket subuh entar bakal ada truk sampah yang dateng. Minta tolong sama mereka.”

“Oke. Kalau begitu kau harus cepat lari. Kau harus lari lebih jauh karena bau TPA belum tentu cukup untuk menyamarkan bau tubuhku,” si bocah sedang meringkuk di dasar pagar kawat dalam keadaan telanjang, tapi masih sempat-sempatnya dia melontarkan ceramah sains populer dengan penalaran dan logika dalam kecepatan senapan mesin, “Aku baca di sebuah laporan, indera penciuman anjing pelacak hampir bisa membedakan bau molekul terpisah. Mereka punya reseptor pencium tiga puluh sampai lima puluh kali lebih banyak dibanding manusia biasa. Batas deteksi bau seekor anjing–achoo!”

Gadis itu tiba-tiba mengeluarkan botol semprot kecil seukuran telapak tangan dan memalingkan muka sambil menyemproti dia. Cairan yang dia semprotkan terlihat seperti air, tak berwarna dan tak berbau, tapi bocah lelaki itu entah kenapa jadi ingin bersin. Dia takut menarik perhatian pemburu mereka, jadi dia tak punya pilihan selain menutup mulut sekuat tenaga dan menahan suaranya di tenggorokan.

“Gusti, kenapa lu jago amat ngafalin buku? Jangan bilang lu aslinya mesin hafalan?” usai menyemprot, gadis itu mendorong bagian belakang kepala si bocah dengan satu tangan, “Sekarang, cepet manjat!”

Bersama dengan suaranya, bunyi gonggongan ganas juga semakin nyaring. Anjing itu tampaknya sangat dekat dengan mereka. Bulu kuduk di punggung bocah itu berdiri tegang, otaknya kosong. Dia refleks menuruti kata-kata si gadis dan mengerahkan sekuat tenaga untuk memanjat pagar kawat. Ketika dia melompat turun, kakinya telanjangnya tersayat sesuatu dan dia tersandung. Dia tidak sempat memeriksa; dia bangkit dengan panik dan menoleh ke arah gadis di sisi lain pagar kawat. “Cepat–”

Gadis itu memakai baju yang tadi dia tanggalkan untuk membuat tas jaring sederhana. Dia melemparkan kaus kaki dan sepatu ke dalam tas itu, lalu memasang topi bisbol di kepalanya sendiri.

Bocah itu terpana sesaat. Lalu, tampaknya dia menyadari sesuatu, “Tunggu sebentar, apa yang kau lakukan?”

Gadis itu memalingkan kepala dan bersiul ke arahnya. “Nanti, kalau gak penting-penting amat, jangan sering-sering pergi ke tempat yang enggak-enggak kayak Gang Lumpur. Anak alim yang jalan sendirian bakal dipalak. Kabur sendiri sana. Cici duluan.”

“Kau–” bocah itu buru-buru melemparkan dirinya ke pagar kawat, tangannya berusaha menggapai si gadis. Tepat pada saat itu, seberkas cahaya melintas lagi. Bocah itu refleks mundur ke balik tong sampah. Sementara itu, si gadis berdiri tak bergerak. Seberkas senyum dingin merekah di sudut bibirnya. Senyum itu sepintas terlihat culas, tapi di saat yang sama, memancarkan semangat anak sapi baru lahir yang tidak takut pada harimau.

Dia melihat gadis itu mundur beberapa langkah, menarik turun ujung topi, dan meletakkan jari telunjuk di depan bibir, “Ssst–”

Di bawah cahaya senter yang menyoroti mereka, seberkas wajah itu dapat terlihat. Topi bisbol menutupi wajahnya. Hanya ujung hidung dan sudut tajam bibirnya yang terlihat. Gadis itu seperti awan yang berkobar di awal atau penghujung hari, sosoknya membakar retina mata si bocah lelaki.

Kemudian, “awan berkobar” ini mengendarai angin dan melintas di depan matanya, lenyap

Tinggalkan komentar